Memperjuangkan Hidup

 

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi Penulis

Penulis: T. Rahman Al Habsyi


AMBARARAJANEWS-Langit tiba-tiba mendung saat saya bersama seorang kawan sedang berniat untuk lintas Kabupaten lewat jalur sungai, tentu dengan kondisi jembatan bukan beton apalagi besi-besi yang malang-melintang seperti lazimnya sebuah jembatan. Motor kami harus melintasi jembatan dengan susunan bambu yang dibawahnya arus sungai cukup kencang. 

selama ini saya hanya fokus dengan isu daerah pelosok di luar jawa. Tentu isu ini dibangun dari media-media yang dengan rajin memberitakannya. Namun realitas kadang tidak sesuai dengan apa yang telah diimajinasikan dalam tempurung kepala. Dulu saya berfikir Jawa sudah tidak ada lagi daerah-daerah kategori pelosok. 

Namun anggapan ini harus saya muntahkan, daerah perbatasan Bondowoso-Situbondo menjadi bukti nyata bahwa akses untuk daerah ini masih tergolong susah. Tepatnya Desa Sumberargo dan Desa Petung, kedua Desa ini berbeda wilayah administratif namun mempunyai hubungan yang dekat karena secara geografis letaknya bersebelahan.

Ditengah perjalanan motor matic kami batuk-batuk kewalahan, namun kami paksa untuk tetap tancap gas menyisir sawah-sawah sepanjang jalan. Pemandangannya memang ajip, indah luar biasa. Mata siapapun yang melihat akan seperti dicuci dengan kesejukan, gemuruh air yang membentur batu seperti musik ritmis sehingga menambah daya eksotis. 

Namun sayang, dibalik indahnya mengandung rasa ngeri. Saya yang tidak terbiasa lewat jalur ini merasa nyawa sudah diujung. “Bismillah”, kemudian saya pacu kembali kendaraan penuh kehati-hatian. Semangat untuk sampai tujuan tidak boleh surut, ada sosok luar biasa yang ingin kami temui. Selintas mendengar ceritanya dari kawan saya, sehari sebelum perjalanan ini. Membuat saya takjub dan kami harus malu sebagai anak muda jika masih bergumul dengan rasa malas. 

Perjalanan masih cukup panjang, kami masih menepi disebrang sungai. Mendinginkan motor, mencuci muka dengan air sungai yang jernih dan dingin, sesekali kami berpapasan dengan warga sekitar, ada yang berjalan kaki lengkap dengan atribut pertaniannya, ada yang membawa motor dengan rumput diboncengnya, laki-perempuan seperti tidak ada perbedaan, mereka semua menandakan sosok pekerja keras dan tangguh.

Sekira lima belas menit beristirahat kami pun melanjutkan perjalan. “Sebentar lagi kita sampai”, teman saya menenangkan, karena sepertinya dia tahu saya cukup kelelahan, bukan karena jalan kaki atau habis lari maraton. Energi saya terkuras oleh rasa takut yang berlebihan. Alah bikin malu saja.

Setelah belok kanan, lurus depan, belok kiri, belok kanan lagi, akhirnya kami masuk ke sebuah perkampungan dengan susunan rumah yang unik, kok bisa unik sih? Ternyata rumah di sini mengikuti pola terasering sehingga membuat susunannya ada yang di atas ada yang dibawah dan terus seperti itu.

Motor kami masih masuk jalan gang sempit sebelum terparkir rapi disalah satu halaman rumah warga, kami berdua ingin silaturrahmi dengan seorang Mbah yang kondisinya tidak bisa melihat namun masih bersemangat jualan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sebagai anak muda kami merasa tertampar karena masih banyak mengeluhnya dan kurang syukurnya. 

Padahal di daerah pelosok yang cukup sulit aksesnya ada seorang Mbah yang tidak mau berpangku hidup dengan menyusuhkan orang lain. Ia terus berjuang memapah jalan dengan tongkat, menyisir rumah warga satu per-satu untuk menjajakan jualannya. Apakah ada kata menyerah? Rasanya tidak, karena Mbah sudah ikhlas dan penuh kesabaran menerima segala takdir yang telah ditetapkan oleh-Nya. Mbah Nuri, warga sekitar akrab memanggilnya.

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi Penulis
Keterangan Gambar: Mbah Nuri Menjajakan Jualannya

“Kadang ada pembeli nggak jujur karena tahu saya buta, dia bilang kasih uang Rp. 10.000 terus minta uang kembalian. Ternyata uang yang dikasih itu RP. 1000.”

“Sering juga jatuh kalo jalanan gak rata. Karena saya jualan dengan barang diatas kepala dan tangan kanan pegang tongkat. Kadang saya susah menyeimbangkan. Jadi gampang jatuh. Kadang ada yang nolong, kadang nggak ada. jadi saya pelan-pelan berdiri dan jalan lagi meski lutut perih dan berdarah”

“Pernah juga jatuh dan pingsan, saya tidak bisa pulang seharian. Saya sadar sendiri dan jualan sudah kotor semua. Saya pulang dan langsung dimarahi. Karena dagangan ini milik orang lain. Saya cuma bantu jualin nanti diberikan upah sekitar 10-15 ribu jika laku semua. Jika tidak laku, saya hanya diberikan mie instan untuk makan”. Terang Mbah Nuri ketika kami ngobrol denganya.

Tidak bisa melihat dunia dan hanya mengandalkan diri dengan mengira-ngira. Bagaimana rasanya menjadi Mbah Nuri? Sekitar 65 tahun Mbah Nuri menjadi penyandang tunanetra yang bergantung dengan tongkat untuk berjalan.

Namun menjadi tunanetra tidak menghentikan Mbah Nuri berjuang menafkahi dirinya dari pukul 8 pagi sampai 6 malam, Mbah Nuri keliling jalan kaki membawa jualan mulai dari ikan pindang, kerupuk, sayur-sayur, dan beberapa kain kecil yang diletakkan di atas kepalanya menggunakan tas. Satu tangan membawa tongkat sebagai penunjuk jalan, satu tangan lagi memegang jualannya supaya tidak jatuh.

Sebenarnya, tidak mudah bagi Mbah Nuri untuk bisa berjualan keliling. Bayangkan saja, bertahun-tahun jualan sudah banyak kisah pilu yang dirasakan oleh Mbah Nuri.

Beliau sering bertemu dengan pembeli nakal yang mau memanfaatkan kondisi Mbah Nuri. Mengaku membayar sesuai harga, namun ternyata membayar lebih sedikit. Bahkan berniat menipu dengan mengambil kembalian. Syukur, sampai saat ini Mbah Nuri selalu diberikan kesehatan meski usianya sudah renta, kaki dan tangannya bergetar. Namun semangatnya tidak pernah pudar.

Keuntungan berjualan Mbah Nuri hanya berkisar 10-15 ribu jika itu laku semua. Karena barang jualan Mbah Nuri itu milik orang lain. Mbah Nuri hanya bantu dan mengambil upah saja. Jika tidak laku. Mbah Nuri hanya mendapat mie instan untuk makan.

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi Penulis
Keterangan Gambar: Mbah Nuri

“Saya sudah menyerahkan diri kepada Allah, apapun yang diberikan saya bersyukur. Karena saya yakin. Meski terlahir dengan keadaan tidak bisa melihat. Allah sudah atur rezeki serta segala kebutuhan saya. Jadi pantang bagi saya mengemis atau meminta-minta”, Tambah Mbah Nuri.

Setiap berjualan Mbah Nuri tidak lupa untuk beribadah. Beliau kadang berhenti di Masjid atau numpang di rumah orang. Mbah Nuri tidak pernah lupa berdoa kepada Allah SWT untuk dimudahkan dan selalu diridhoi dalam setiap langkahnya.

Atas perjuangan Mbah Nuri yang tak ternilai, saya merasa malu sekali. Betapa kerasnya hidup yang harus dijalani Mbah Nuri, padahal tidak semua orang bisa memiliki jiwa murni dan menerima keadaannya. Allah selalu mempunyai cara terbaik untuk mengingatkan kita selalu paham apa sebenar-benarnya arti mensyukuri kehidupan.


NB :Teman-teman bisa ulurkan doa dan donasi terbaik untuk Mbah Nuri melalui link: https://kitabisa.com/mbahnurimanseorangtunanetra?


Sumber Gambar: Dokumen Penulis
Ket. Gambar: Penulis

Tentang Penulis
T. Rahman Al Habsyi, Lelaki kelahiran Bondowoso, Penulis Abal-abal yang mendewikan ibunya, memiliki cita-cita mati muda. Sekarang aktif sebagai Founder Buka Tangan.