Ibu, Dapur, Relasi Sosial, dan Stereotip Perempuan

 

Sumber Gambar: pexels.com

Penulis: Pepi Rahmawati


AMBARARAJANEWS.COM_Dapur adalah salah satu ruangan terpenting dalam sebuah rumah. Dapur bukan hanya tempat untuk memasak dan menyajikan makanan, tetapi juga tempat di mana hubungan keluarga tumbuh dan terjalin.

Ketika saya masih kecil, setiap kali bangun tidur saya selalu mencium bau wangi masakan dari arah dapur. Saya langsung mengecek ke dapur untuk melihat siapa yang memasak makanan---yang baunya enak itu. Dan ya, di dapur terpampang jelas ibu saya sedang memasak sesuati untuk sarapan saya sebelum berangkat sekolah. Ibu selalu melakukan itu setiap pagi.

Saya selalu berpikir dan bertanya kepada ibu, “Kenapa ibu tidak membuka warung di depan rumah?” Saya bertanya demikian bukan tanpa alasan, tapi karena masakan ibu selalu enak dan tidak ada yang bisa menggantikannya di mana pun dan kapan pun. Tapi ibu selalu menjawab, “Pasti cuma kamu aja yang memakannya.” Dan saya selalu tertawa oleh jawabannya.

Berbicara mengenai dapur, menurut saya, selain sebagai pusat kegiatan memasak, dapur adalah pusat sosial rumah tangga. Tempat di mana anggota keluarga berkumpul untuk makan bersama, berbicara, dan berbagi cerita. Di kampung saya, misalnya, khususnya di daerah Panggung, setiap ada acara penting selalu ada banyak orang yang membantu memasak. Biasanya mereka saling bergantian, saling membantu.

Dan uniknya, setiap yang memasak makanan tersebut mempunyai rasa khas masing-masing. Entah itu yang muda atau pun yang tua, mereka saling membantu untuk membuat bumbu-bumbu masakan. Oleh sebab itu, tak heran kalau gadis-gadis atau orang tua di desa saya, masakannya enak-enak---karena mereka sudah terlatih untuk belajar memasak sejak kecil.

Dari peristiwa tersebut saya sadar bahwa kebersamaan tidak hanya tercermin dalam forum musyawarah, kerja bakti, atau kegiatan serupa. Salah satu wujudnya dapat ditemukan dalam momen memasak bersama-sama. Ketika orang-orang berkumpul di dapur, bukan hanya sekadar menciptakan hidangan lezat, tetapi juga membangun ikatan yang erat.

Proses memasak bersama melibatkan koordinasi, saling membantu, dan saling berbagi ide. Dalam suasana tersebut, setiap individu memiliki peran penting untuk mencapai tujuan bersama: sebuah hidangan yang memuaskan. Dengan demikian, masak bersama bukan hanya tentang meramu bahan makanan, tetapi juga tentang merajut hubungan yang lebih kuat di antara pesertanya.

Di dapur, setiap tangan memiliki peran dan setiap rencana mendapat sorotan. Kebersamaan termanifestasi dalam kerjasama menyeluruh, dari memilih bahan-bahan hingga menyusun strategi memasak. Hal ini mengajarkan nilai-nilai seperti saling mendengarkan, menghargai kontribusi, dan menyelesaikan masalah bersama.

Masak bersama juga menciptakan ruang untuk komunikasi yang santai dan spontan. Di sela-sela memotong sayuran atau mencampur adonan, obrolan ringan dan candaan membuat atmosfer semakin hangat. Dalam momen ini, individu membuka diri secara lebih pribadi, memperdalam pemahaman satu sama lain, dan membangun ikatan sosial yang lebih dalam.

Selain itu, hasil akhir dari usaha bersama itu, hidangan lezat, bukan hanya sekadar pencapaian kuliner. Hidangan tersebut menjadi simbol kebersamaan yang bisa dinikmati bersama. Makan bersama menciptakan momen keintiman, memperkuat ikatan antaranggota kelompok, dan memberikan kesempatan untuk merayakan pencapaian bersama.

Oleh sebab itu, masak bersama-sama membuktikan bahwa kebersamaan tidak hanya melibatkan musyawarah atau kerja bakti formal, tetapi juga dapat diwujudkan melalui kegiatan yang lebih santai dan menyenangkan.

Dapur menjadi tempat di mana ikatan kuat terjalin, menghubungkan orang-orang melalui proses kreatif yang tak hanya memberi kelezatan pada lidah, tetapi juga memberdayakan jiwa kolaboratif dan kebersamaan.

***

Belajar memasak sejak kecil itu sangat bagus karena ketika dewasa mereka sudah tidak bingung lagi tentang bumbu-bumbu dapur. Namun, itu tidak terjadi dalam hidup saya. Sampai sekarang saya masih bingung membedakan antara kencur, jahe, atau semacamnya.

Pernah suatu hari ibu sedang batuk berdahak dan saya diminta untuk membuatkan teh jahe. Tetapi karena saya bingung, saya asal ambil saja sesuatu yang mirip jahe itu---karena menurut saya semuanya terlihat sama dan tidak ada bedanya.

Dan, setelah saya membuatkan ibu teh jahe, keesokan harinya ia bertanya ke saya, “Kemarin apa yang kamu masukin ke tehnya ibu? Kok rasanya beda?” Lalu saya jawab, “Jahe lah.” Kemudian ibu mengecek gelasnya, dan benar saja, itu bukan jahe, melainkan kunci---rempah yang memang sekilas mirip jahe.

Ibu langsung bilang ke saya, “Makanya, kalau ibu memasak dibantuin, bukannya main hp terus.” Padahal, ketika saya sedang membantu ibu memasak, ia selalu bilang, "Sana bersih-bersih rumah saja, kamu di sini hanya mengacau saja.”

Did aerah terkecil seperti di kampung saya, ketika ada anak perempuan yang tidak masak pasti dibilang anak tidak beres. Karena apa? Karena tetangga-tetangga beranggapan kalau anak yang masih sekolah, selain belajar di sekolah, mau ngapain lagi kalau tidak membantu orang tuanya memasak.

Biasanya, ketika mengetahui ada anak gadis tidak bisa memasak, mereka akan bergosip dan berkata, “Memangnya, selama orang tuanya memasak, apakah tidak pernah membantu sama sekali?”

Seorang anak gadis yang jarang sekali di dapur selalu dianggap remeh dan selalu ditanya “kalau sudah menikah suaminya nanti mau dimasakin apa?” Padahal, memasak itu bukan hanya tugas seorang wanita saja, tetapi juga tugas seorang pria---ini hanya urusan cara membagi waktu masing-masing.

Banyak yang beranggapan bahwa kodrat seorang wanita itu hanya bersih-bersih rumah, memasak, ngurus anak, dan lain sebagainya. Tetapi mereka semua salah, hal itu bisa juga dilakukan oleh pria/wanita dan bisa juga dikerjakan bersama sama.

Masih ada banyak orang yang beranggapan “kenapa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya nanti kembali ke dapur”. Padahal seorang perempuan nantinya akan menjadi madrasah pertama bagi anaknya dan kecerdasan seorang ibu itu menurun ke anaknya.

Pendidikan tinggi menjadi pilar utama dalam perjalanan perkembangan masyarakat modern, dan pemikiran perempuan terkait pentingnya pendidikan tinggi mencerminkan aspirasi besar untuk terlibat secara lebih aktif dalam berbagai bidang kehidupan. Pendidikan tinggi juga menjadi landasan bagi pemenuhan potensi penuh, kemandirian, dan kontribusi maksimal bagi perempuan.

Para perempuan, dengan penuh semangat, memandang pendidikan tinggi sebagai pintu gerbang menuju kebebasan dan kesetaraan. Dengan meraih derajat pendidikan yang lebih tinggi, perempuan dapat membuka peluang lebih luas dalam dunia karier, mengatasi batasan tradisional, dan membuktikan bahwa kecerdasan dan bakat mereka tidak memiliki batasan gender.

Pendidikan tinggi juga memberikan perempuan keterampilan kritis dan analitis yang mendalam, memungkinkan mereka untuk memimpin dalam berbagai disiplin ilmu. Pemikiran perempuan tentang pentingnya pendidikan tinggi mencerminkan keinginan untuk terlibat secara aktif dalam membuat keputusan, berkontribusi pada inovasi, dan menjadi pemimpin yang berpengaruh di berbagai lapisan masyarakat.

Selain itu, pemikiran perempuan tentang pentingnya pendidikan tinggi mencakup pemahaman akan peran mereka dalam merombak paradigma sosial. Dengan meningkatnya kesadaran akan kesetaraan gender, perempuan melihat pendidikan tinggi sebagai alat untuk mengatasi stereotip dan hambatan yang mungkin menghambat perkembangan mereka.

Pendidikan tinggi juga menjadi fondasi untuk advokasi hak-hak perempuan. Para perempuan yang teredukasi tinggi memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang isu-isu sosial dan gender, memungkinkan mereka menjadi agen perubahan yang efektif.

Mereka mendorong untuk mengubah norma-norma yang tidak adil, memperjuangkan kesetaraan, dan membuka pintu bagi generasi perempuan mendatang.Oleh karena itu, pemikiran perempuan tentang pendidikan tinggi mencerminkan aspirasi untuk mencapai potensi penuh dan memberikan kontribusi positif pada masyarakat.

Pendidikan tinggi tidak hanya memberikan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga memberdayakan perempuan untuk menjadi pemimpin, pembuat kebijakan, dan pelopor perubahan yang mengarah pada masyarakat yang lebih inklusif dan setara.

Profil Penulis

Pepi Rahmawati, yang kerap disapa Pepi lahir di Banyuwangi,15 february 2006, gadis manis asal Kota Gandrung ini memiliki hobi membaca dan menulis, ia memiliki cita-cita yang sangat mulia ingin menjadi guru atau dosen agar bisa membina tunas-tunas bangsa, untuk mencapai cita-cita nya, kini Pepi sedang melanjutkan studi di pulau seberang yakni pulau Bali tepatnya di Universitas Pendidikan Ganesha, ia mengambil Prodi Pendidikan IPA Jurusan Fisika dan Pengajaran IPA, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.Untuk menambah wawasan dan relasi Pepi juga memilih bergabung dalam organisasi perkaderan yakni Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Singaraja. Terakhir, Gadis manis ini memiliki Motto hidup "Direndahkan di mata manusia, ditinggikan di mata Tuhan, Prove Them Wrong" 

"Gonna fight and don't stop, until you are proud"

NB: Karya essay ini lahir dari hasil pelatihan essay yang diselenggarakan oleh Korps HMI-Wati Cabang Singaraja pada Minggu, 05 November 2023 dengan narasumber kanda Jaswanto