Penulis: Ali Sabarudin
AMBARARAJANEWS.COM- Dibeberapa kesempatan saya dipercaya untuk memaparkan materi. Salah satu materi yang seriang kali itu adalah NDP HMI. Tetapi, sebelum membahas lebih jauh, saya akan memulai dengan satu pandangan, bahwa saya sebagai pemateri sama dengan mereka yang akan menyimak. Kelebihan saya hanya saja lebih dulu menjadi HMI dan lebih dulu membaca, mengkaji dan mengulik-ngulik tentang NDP. Ini soal pengalaman (keseringan) menampung pemahaman dari sekian variasi pengalaman-pengalaman.
Ada satu Bab dalam NDP HMI yang selalu menjadi tema paling menarik, dan sering melahirkan perdebatan tak bertepi. Bab-nya adalah "Dasar-Dasar Kepercayaan". Dalam ruang kajian yang lebih kritis, saya akan menggoda penyimak dengan pertanyaan yang menggelitik "pernahkah kalian melihat Tuhan?" atau pertanyaan yang saya tambah lewat uraian ini, “dapatkah Tuhan melihat dirimu?”
Pada kasus pertanyaan kedua inilah uraian ini digagas. Bahwa Tuhan yang Maha Melihat tidak “melihat” kearah hamba-hamba-Nya yang diluar pancaran Cahaya-Nya. Padahal cahaya Ilahi itu meliputi alam semesta, masihkah ada hamba yang diluar cahaya itu?. Untuk tau siapa yang dekat pada (Sumber) cahaya dan yang jauh dari cahaya saya meminjam dualisme pemikiran Plato, Emanasi Plotinus, dan Konsepsi Tarekat Mulla Sadra.
Pertama, dualisme pemikiran Plato (427) tentang alam Idea dan Realitas Indrawi. Bertrand Russell pandangan Plato adalah satu corak yang religius untuk memahami hubungan metafisika menjadi fisika. Plato mengatakan Idea adalah satu alam dimana semua permulaan berada pada tempat segala sesuatu diatur, termasuk Realitas Indrawi berawal dari Idea.
Alam ini diluar pikiran manusia, tidak pula diciptakan oleh pikiran manusia namun dapat terpahamkan dengan kematangan konsep berpikir, pikiran pun berawal dari sana. Dia adalah citra yang pokok dari segala yang ada, dia non materi, tidak berubah (tetap) serta kekal. Berbeda dengan alam Realitas Indrawi (fisika) atau alam dimana manusia tinggal dan berkembang (Bumi) lebih luas lagi yakni Alam Raya ini. Bagi Plato Realitas Indrawi adalah tiruan (tak sempurna) dari Idea. Untuk menangkap dengan baik maksud Plato tentang Idea dibutuhkan rasionalisasi yang disebut Emanasi dari Plotinus (205 M).
Emanasi adalah upaya penjabaran dari Plotinus mengenai pemikiran Plato. Emanasi merupakan teori lanjutan yang terintegral dalam pemahaman dualisme Plato. Plotinus mencoba membangun satu kerangka berpikir untuk menjembatani Idea ke Realitas (atau sebaliknya). Mudahnya, antara Idea dan Realitas ada Emanasi yang menjembatani. Emanasi sendiri adalah satu konsep rasionaliasi dari penciptaan alam semesta dari Idea menuju Realitas Indrawi. Bahwa Idea memancarkan (cahaya) yang mebentuk Realitas Indrawi.
Dengan Emanasi, menjadikan Idea-idea tidak mengalami keterputusan dengan Realitas Indrawi. Bahwa dari sumber sampai ujung cahaya tidak ada keterputusan, meski diujung pancaran tersebut mengalami peredupan (degradasi). Konsep ini dapat dipahami bahwa Realitas Indrawi yang dekat dengan sumber cahaya akan sangat terang (nampak). Kondisi ini akan berbeda dengan Realitas Indrawi yang berada di ujung pancaran cahaya, dia akan terlihat redup (kurang terang), bahasa kampungnya agak-agak saru. Lalu bagaimana dengan Realitas Indrawi yang terlempar keluar dari ujung cahaya?
Bisa jadi, Alam Idea identik dengan Alam Lahut yang dikenal oleh kalangan Islam, dan Realitas Indrawi adalah Alam Nasut. Pada Alam Lahut cahaya terpancar begitu kuat, sehingga tak dapat direkam oleh penglihatan mata. Lewat Alam Lahut lah Tuhan mengatur segala urusan dan segala hal yang ditetapkan, seperti contoh bahwa Idea manusia tidak sama dengan Idea kuda dan Idea kuda tidak sama dengan Idea yang lain-lainnya.
Masuk dalam pandangan Mulla Sadra (1572 M), bahwa Ilahi adalah sumber cahaya yang utama. Oleh karena Ilahi adalah sumber cahaya yang utama, setiap hamba dititahkan untuk mendekat pada sumber cahaya itu, dengan jalan taqwa agar ia diliputi cahaya Ilahi yang dimaksud. Jalan Spiritual Sadra adalah jalan yang mendekatkan diri pada cahaya Ilahi, bawah dengan ibadah dan berdzikir pada Nya dapat mendekatkan kita pada sumber cahaya Ilahi.
Bila hamba menjauh dari sumber cahaya dia bisa dikatakan redup dipandangan Ilahi. Menjauh adalah ogah-ogahan mengerjakan perintah, atau pernah berdzikir sehari saja, nah itu dapat kedipan ujung cahaya-Nya saja. Atau ada diluar pancaran cahaya (melakukan kejahatan), jelas dia akan diliputi kegelapan, disinilah hamba tersebut mengalami kebutaan. Hidupnya tak tau arah, menabrak apa saja, pohon tumbang pun ditabraknya.
Dikatakan di atas, bahwa taqwa adalah jalan menuju cahaya Ilahi, siapa saja insan yang menjalankan rutinitas ibadah, dia akan nampak di sisi Tuhannya. Semakin dia rutin menjalankan kebaikan sebagai bentuk ketaqwaan, jelaslah dia akan semakin mendekat pada sumber cahaya itu dan semakin teranglah dia di sisi Tuhan. Konsekuensi selanjutnya, hidup menjadi terarah, tahu mana ujung dari perjalanan hidup, pohon tumbang tentu saja tidak ditabraknya.
Produksi ketaqwaan seorang hamba kadang kala ter-setting lewat rasa takutnya. Uniknya rasa takut seorang hamba pada Sang Malik, tidak membuat dia menjauh tapi membawa ia untuk mendekat pada Sang Malik. Ancaman yang datang dari Sang Malik pun tak membuat dia lari, melainkan mendekatkan dia pada Sang Malik. Berbeda dengan hubungan Realitas Indrawi (Alam Nasut), semakin takut ia pada sesuatu (penguasa duniawi) semakin ia menjauh dan sembunyi.
Dengan begini, melihat dan terlihat oleh Tuhan adalah berbicara mendekatkan diri. Cahaya Tuhan melingkupi segala yang ada, jika hamba gelap, memang dia yang menggelapi diri sendiri. Tuhan pun Maha Melihat, dalam gelap gulita penglihatan Tuhan tetap setajam kehendak-Nya.
Selamat Tahun Baru 2022, Jangan Lupa Membaca..!!!