Penulis: Ali Sabarudin
AMBARARAJANEWS COM- "….Siapa yang melihat semesta, namun tidak melihat-Nya di sana, atau tidak melihat-Nya ketika, sebelum, atau sesudah melihat semesta, berarti ia telah disilaukan oleh cahaya-cahaya lain dan terhalang dari surya makrifat karena tertutup tebalnya awan dunia." Ibnu Atha ‘illah as-Sakandari.
Pikiran ini dimulai pasca saya menikah tahun 2018, saat masih nge-kos di Jalak Putih (Singaraja). Terjadi satu kondisi yang sangat alamiah, dimana saya memikirkan hal-hal yang paling fundamental dalam hidup saya. Aktivitas berpikir ini bukan hal baru bagi saya, pada tahun-tahun sebelumnya saya memikirkannya secara kritis, bahkan ditopang oleh lawan diskusi serta ruang-ruang kajian.
Tetapi, pada tahun itu pikiran saya lebih murni didorong oleh naluri serta panggilan alamiah karena hamparan langit. Pikiran itu ialah mengenai Tuhan, ini sering terjadi setelah lama memandang hamparan langit, kedipan bintang-bintang serta hembusan angin yang lembut. Saya tidak pernah dengan sengaja memikirkan Tuhan, atau merencanakan untuk memikirkan Tuhan ketika masuk pada suasana itu. Pikiran-pikiran mengenai Tuhan makin berkembang saat itu.
Sebelum jauh saya mengurai, saya ceritakan lebih dulu suasana kos-kosan yang mendorong saya banyak merenung. Kamar tempat saya dan istri saat itu ada di lantai dua paling pojok (utara), di depan pintu kamar ada tembok (pagar) setinggi dada yang kebetulan mepet dengan atap rumah tetangga. Di tembok itulah tempat saya duduk, suasananya sangat indah karena bisa melihat hamparan langit yang luas, kedipan bintang menyambut tatapan saat itu. Banyak hal yang saya pikirkan disitu, sampai pada titik kemurnian saya berpikir, ialah tentang Tuhan.
Pikiran saya terus berkembang seperti tak terkendali, bertanya "seperti apakah wujud Tuhan?, dapatkah manusia melihat Tuhan dengan matanya, atau dapatkah manusia mengenal Tuhan dengan Akal-Pikirannya? siapakah hal pertama yang mengenal dan melihat Tuhan? apakah nabi Adam As, pernah melihat wujud Tuhan? Dengan cara apa manusia dapat mengenal Tuhannya?" Sebagian dari deret pertanyaan ini sudah pernah saya tanyakan dalam berbagai kesempatan dialog. Namun pertanyaan yang muncul kembali di atas tembok pagar kos saat itu lebih bernilai, tancapannya benar-benar tertanam dipikiran bawah sadar saya.
Dari saat itu kehendak mendorong saya membuka Al-Quran, mencari tau bagaimana Allah menjelaskan Dirinya lewat kalam-kalam-Nya. Beberapa ayat saya baca, diantaranya dalam surah Ali Imran (3/190-191) dan Fushshilat (41/53).
Dari ayat-ayat ini, bahwa pergantian siang dan malam dan pada diri manusia sendiri terdapat tanda-tanda kebesaran Allah. Saya berpikir bahwa untuk mengenal Allah itu telah ada dalam realitas kehidupan saya sendiri?, bahwa pergantian siang dan malam telah terjadi disepanjang hidup saya, dan apa yang ada pada dirinya selama ini adalah tanda-tanda itu?. Ok, saya dapat menerima ayat ini karena mengimani sumbernya. Pertanyaan pun berlanjut, lalu bagaimana jika orang-orang yang tidak percaya pada kalam-kalam ini, apakah dapat menerima bahwa pergantian siang dan malam serta diri mereka sendiri sebagai tanda-tanda? Atau alasan lain yang mendorong mereka memikirkan ‘Tuhan’?
2019, rutinitas saya berubah, saya mulai bekerja untuk memenuhi nafkah keluarga. Kenyataan bahwa rutinitas perkejaan menyudahi dialektika ini untuk sementara, namun rasa ingin tau saya tetap stabil. Sepanjang tahun 2019 saya disibukkan oleh adaptasi dunia kerja, tidak banyak aktivitas olah pikir dan rasa yang bisa saya lakukan, ada beberapa alasan yang tidak perlu saya urai disini.
Masuk tahun 2020, ritme pekerjaan mulai menemukan titik kenyamanan, artinya tuntutan kerja tidak berkurang namun kelola waktu sangat terjaga. Rutinitas berpikir tumbuh kembali, waktu untuk menepi dari kesibukan (kerja) kembali ada, fenomena pikiran yang timbul pada tahun 2018 kembali tumbuh, kemudian disemai dengan benih-benih pikiran yang lebih segar.
Asyiknya, ada saja realitas-realitas yang mengantarkan pada momentum di kos dan pertanyaan-pertanyaan diatas. Banyak realitas-realitas yang saya jalani membantu dalam mengumpulkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas.
Semenjak tahun 2020 pula, saya banyak menonton kisah-kisah para mualaf (barat), ingin tau bagaimana perjalanan mereka memeluk Islam. Keinginan ini tidak selalu didorong oleh momen di kosan saat itu, tapi ada kalanya saya menonton karena rasa haru yang membekas, serta rasa Iman yang menebal pasca menonton cerita para mualaf-mualaf itu. Tapi kisah-kisah mereka dan jawaban mereka mengapa memilih dan memeluk islam banyak membantu saya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sejak tahun 2018 silam.
Semisal, satu video (dialog) yang menjelaskan bahwa, rasa ingin tahu manusia akan Tuhan adalah dorongan alami dalam diri dan kehidupannya. Ini terbukti secara riset yang dilakukan oleh lembaga penelitian Oxford University, penelitian ini dilakukan oleh lembaga sekuler yang ada di kampus itu. Penelitian melibatkan 57 peneliti dengan 40 studi terpisah dari 20 negara, menyimpulkan bahwa, manusia cenderung percaya pada Tuhan dan kehidupan setelah kematian, ini merupakan dorongan mendasar (alamiah) dari pikirannya.
Lebih jelasnya, dari berbagai sumber yang saya pelajari, bahwa pada kondisi hidup manusia paling murni akan mengantarkan dia bertanya tentang adanya “Tuhan”. Atau pada masyarakat tertentu yang tidak terkontaminasi oleh realitas diluar kehidupan mereka, kita dapat melihat ekspresi ketuhanan dari mereka.
Pada kelompok masyarakat yang terisolir pun terdapat ekspresi ketuhanan dalam hidup mereka. Atau seorang manusia sejak kecil sampai dewasa, hidup seorang diri (misalnya ditengah hutan) akan sampai juga pada kecenderungan alami tentang ketuhanan. Ekspresi ketuhanan itu alamiah adanya, karena faktor interaksi mereka dengan alamnya, meski eskpresi itu belum membuktikan pada kebenaran mutlak (Allah).
Artinya kondisi pribadi saya pada tahun 2018 di kos-kosan lantai dua di Jalak Putih (Singaraja) merupakan dorongan alamiah. Didorong oleh tanda-tanda (ayat kauniyah) yang telah ditetapkan, bahwa seluruh alam ini (kauniyah-kalam Allah) memberi dorongan pada manusia untuk mengenal siapa yang menciptakan mereka. Dalam surah Al-Jasiyah (45/3-5) Allah menerangkan dengan sangat sistematis, bagaimana hal itu bisa terjadi.
”Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman (3), Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini (4), dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.(5)”
Pembuktian bahwa pergantian siang dan malam serta apa saja yang Allah jadikan sebagai tanda, termasuk diri kita sendiri adalah tanda-tanda bagi yang berakal merupakan kenyataan alamiah. Ia adalah konsekuensi logis setelah (menyimak) memperhatikan pergantian siang dan malam, merenungkan penciptaan langit, bumi dan penciptaan diri kita sendiri.
Dengan ini saya meyakini lewat ayat-ayat kauniyah-Nya Allah terus berkalam tentang siapa Diri-Nya pada semua makhluk-Nya hingga saat ini.
Lalu bagaimana dengan manusia yang berupaya menolak realitas yang alamiah ini? Bukankah masih banyak yang tak mengimani barisan ayat-ayat di atas, juga masih banyak yang tak dapat memahami bahwa seisi alam raya ini adalah kauniyah (kalam Allah)! Bersambung…..
Negara, 8-9 Januari 2022